Kamis, 20 Oktober 2011

OH. ANGIN. OH

Here I am.
At twenty feet high.
Wind whistling.
A very hard whistle.

***

Di sini dingin. Hari terdingin di bulan September. Angin kencang berhasil menerobos lewat lubang-lubang yang sebetulnya tidak dirancang sebagai lubang udara. Retakan. Di dinding dan di langit-langit. Satu-satunya kehangatan yang berhasil kudapatkan di sini adalah secangkir teh panas dan semangkuk kecil mie rebus yang mie nya dimasak terlalu lama. Harus dihirup dan dimakan cepat-cepat. Angin akan segera mencuri kehangatannya. Lihat saja. Dalam hitungan sepuluh. Sepuluh… sembilan… delapan… tujuh… enam… lima… empat… tiga… dua… satu. Tidak ada lagi secangkir teh dan semangkuk mie yang panas. Betul kan? I told you. Dan, karena aku harus membuktikan pada kalian, sekarang aku tidak lagi punya kehangatan di sini. Huh. Bisakan waktu kembali lagi ke sepuluh detik terakhir? Please, God?

Ups, Tuhan. Aku hampir saja lupa. Masih ada satu kehangatan. Ya, tentu saja kehangatanMu akan selalu ada. Maksudku, aku masih punya sehelai selimut. Cukup hangat dan nyaman. Ehem, baunya tidak termasuk perhitungan. Aku sudah tidak mengunjungi laundry sejak… coba kuingat… sekitar enam atau delapan bulan….

Sambil mendengar siulan angin dan menyibak gorden yang menari-nari, aku duduk di sebuah celah di dekat jendela. Selimut membungkus badanku. Mie dingin dan teh dingin (diucapkan dengan sedikit kesal) berada di pangkuanku. Kuhirup bergantian. Mataku memandang keluar jendela.

Di ketinggian dua puluh kaki. Aku memikirkan pikiran ini. Apa rasanya meloncat keluar? Apakah angin akan menangkapku? Ehm, I’m not sure. Aku tak cukup dekat berteman dengannya. Mungkin aku bisa mengepakkan tanganku. Ohhh atau atau… aku punya ide cemerlang! Selimut ini, mungkin bisa jadi sejenis parasut yang bisa membawaku terbang beberapa kilometer sebelum menginjak bumi. Yaa yaaa… pasti kau tidak pernah berfikir aku bisa sejenius ini bukan? Haha. Aku meracau. Andai aku punya Kristal yang bisa membuatku terbang ke Laputa.

***

Waktu bersiul.

***

Dapur mungilku berbau coklat dan kayu manis. Aku sedang memanggang beberapa biskuit. Resep sendiri.

***

Angin masih bersiul. Semakin keras. Namun kali ini, aku punya kehangatan lain. Aku duduk di celah jendela. Masih dengan selimutku. Sekarang dia berbau lavender. Dipangkuanku: biskuit buatan rumah yang baru keluar dari oven dan secangkir BESAR coklat panas.

***

Laputa, tunggu aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar