Minggu, 12 Juni 2011

PERTJA. PERCA.

Kami menonton teater tadi malam. Mengobati kerinduan. Sudah lama kami tidak nonton teater. Judulnya: PERTJA. Teaternya pak Benny, Benny Johanes, Benjon. Saya juga rindu kuliahnya pak Benny. Jadi saat ada berita Benjon bikin pertunjukan, saya langsung menyingkirkan jadwal yang lain.

Tiket habis. Tapi seorang sahabat memberikan kami tiket gratis. Yesssss. Selain itu kami dapat tempat terbaik, karena kami masuk 'lewat pintu samping', jadi kami masuk sebelum pintu masuk officially open for public. Lalalalaa...

Bukan teaternya Benjon kalau tidak kaya dengan simbol dan metafora. Pasti ada makna kenapa gunting tanaman itu dicucukkan terbalik di atas pagar tanaman. Tirai transparan yang dipasang untuk membatasi ruang antara sudut pandang penonton dengan ruang tamu keluarga Pupu, saya menangkapnya sebagai selubung misteri dalam keluarga ini. Lalu, pasti Benjon juga punya alasan kenapa dia selalu mengerutkan pantat dan menempelkan kedua pahanya saat berjalan. Oh, mungkin karena malam ini dia berperan menjadi seorang wanita yang terperangkap dalam tubuh laki-laki. Juga pohon tomat, lagunya Sarah Mclachan, lingerie merah, gambar kepala kelinci di kaos Pupu... Simbol dan metafor menari-nari semalam.

Pertja, menawan. Bukan (cuma) karena acting kebanci-banciannya Benjon. Tapi setiap karakternya memiliki peran penting dan semuanya berperan dengan (lagi-lagi): menawan. Keluguan Selasih, kegagahan kakak perempuan, Ryan si flamboyan (karakter menawan yang sedikit 'agak basi' karena sangat identik dengan Ryan Jombang), Brojo dan kudanya yang selalu berdengus.

Dan saya suka mengamati dan mengumpulkan perca-perca yang tersebar di dalam setiap alurnya.

***

Dibandingkan pertunjukan Benjon sebelumnya yang saya tonton, Shakespheare Carnivora, Pertja, saya pikir lebih lite dan lebih padat dan lebih efektif. Terbukti, selama pertunjukan, saya tidak tertidur. Hahaaa.

Malam tadi, kami berhutang dua kursi pada teater. Kami pulang dengan hati riang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar