Sabtu, 05 Maret 2011

ENTROK.

Menemani suami mengajar seharian ini, saya sengaja berbekal [salah satu] buku yang sudah lama saya beli tapi belum sempat saya baca. Akhir-akhir ini saya memang sering melewatkan me & book time. Maklum, sepertinya saya adalah unemployer yang cukup sibuk. Hehe. Anyway, buku yang saya bekal adalah buku yang covernya bagus --dalam kasus ini, saya membeli buku dengan cara menjudged covernya ;p- love the paper, the design, also the color. ENTROK, itu judulnya.

Saya termasuk orang yang jarang membeli novel yang penulisnya orang Indonesia. Cuma ada beberapa yang saya koleksi. Nah, gara-gara judged by cover inilah akhirnya saya membeli Entrok, penulisnya: Okky Madasari. Sepertinya saya tidak menyesal.

***

Hujan. Dingin. Saya membaca Entrok di sebuah ruangan tempat suami saya mengajar vokal untuk paduan suara para gadis-gadis kota dodol.

Dari awal, rangkaian kalimat Entrok sudah membuat saya terpikat. Alur mundur yang dibuat Okky Madasari membuat penasaran untuk terus membaca isinya.

Entrok adalah beha, bra. Awalnya memang menceritakan bagaimana seorang gadis berjuang menjadi kuli pikul di pasar agar dia bisa membeli beha yang saat itu dianggap barang mahal. Dia sudah merasa payudaranya mringkili*, kalo berlari pasti terasa kewer-kewer*. Dari mencari sekeping demi sekeping rupiah, Marni berhasil membeli entrok bahkan lama-lama dia menjadi pengusaha sukses.

Urusan beha sudah beres, ceritanya, Marni sudah mampu membeli beha yang semahal apapun. Hidup Marni yang sudah enak kini tidak hanya bersoal seputar entrok, setelahnya, Okky menuliskan suasana jaman orde baru. Dimana petugas dengan gampangnya memeras rakyat atas nama kebijakan pemerintah, seenaknya menculik orang, membunuh orang-orang yang katanya parasit lalu menyimpan mayatnya di tempat umum, menembaki orang-orang yang sedang pengajian, lalu memaksa rakyat untuk mencoblos partai beringin di saat pemilu. Huru-hara politik, rasa benci terhadap petugas-petugas, kesedihan membaca kisah tukang becak yang diculik, membuat saya merasa tenggelam didalamnya.

Biasanya saya tidak begitu suka dengan novel-novel berbau politik. Tapi membaca Entrok, semuanya terasa memikat! Kesederhanaan yang cantik. Selain covernya, saya suka alurnya. Bab demi bab, antara Marni dan Rahayu.

Saya baru saja menyelesaikan lembar ke 175, saat suami saya mengajak pulang. Masih tersisa sekitar 110 halaman. Perasaan saya saat itu masih berada di dalam Entrok. Setidaknya itu yang saya rasakan. Karena, tepat saat hujan sudah mulai reda, saya keluar ruangan, saya melihat rombongan berbaju putih --ibu ibu pengajian-- turun dari bis, lalu polisi mengamankan sekitarnya, dan seorang tukang becak bergeser karena becaknya menghalangi bis. GOD! Saya seperti merasa melihat Entrok halaman 150-175 secara nyata! Tiba-tiba saya benci sama pak polisi yang sedang ada di depan mata saya.

***

Masih ada 110 halaman lagi yang menunggu untuk saya lahap. Bersiap, kembali mencemplungkan diri ke dalam dunia ENTROK.

Kalian harus baca!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar